CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 22 Juli 2015

Can We Call a Person “Home”?


            Jika saja blog ini bisa bicara, mungkin dia akan bersorak sorai bergembira, karena ternyata pemiliknya belum melupakannya, karena pemiliknya..AKHIRNYA menulis lagi, yaah…bukan suatu tulisan yang bombastis juga, just to remain myself that writing is really my thing, or we can say that writing is the only one that I can do really well.
            Bukan gak nulis sebenernya, kalo tugas bernama THESIS itu termasuk tulisan..hahaha, just kidding, no..I mean it, aku tetep nulis, tentang pemikiran-pemikiran, ide, orang-orang unik yang aku liat, banyak lah…it’s just about the timing, and mood, karena sederas apapun ide datang tapi timingnya gak pas, lagi ngantuk, lagi sibuk, lagi di jalan, gak akan tercipta tulisan. Sekeras apapun keinginan menulis, kalau mood lagi ancur-ancuran, juga ujung-ujungnya tulisan selesai separuh, cuman jadi separagraf, atau malah cuman jadi judulnya aja. Well, Ayu…cukup ya pembelaan dirinya, the conclusion is, kamu tetaplah gadis pemalas (tapi kece, kreatif, unik, dan mempesona…hahahaha)!!
            Sebagai penyuka musik, sekalipun gak semua genre musik aku suka, aku yakin udah ratusan lagu yang udah pernah aku denger, sebagian besar pastinya aku hafal, sebagian lagi tidak bosan-bosannya aku dengar, dan setahun belakangan ini, sebagian lagi berhasil aku mainkan dengan gitar (somboooooong!!!). Kebanyakan temanya tentang cinta, iyalah.. cinta kayaknya udah jadi tema universal untuk banyak hal di dunia ini, musik, buku, film, puisi, drama, dari mulai jatuh cinta, putus cinta, cinta segitiga, cinta terkhianati, cinta tak sampai, cinta terpendam, ada banyak hal dari cinta yang mampu menginspirasi manusia dalam menciptakan sesuatu, salah satunya lagu.
            Banyak yang bilang, katanya kebanyakan orang menciptakan lagu dari apa yang pernah dialaminya, pengalaman pribadi, ya sih…nggak heran, liat aja tuh Taylor Swift, Demi Lovato, atau Selena Gomez yang kadang menyindir lewat lagu, menyatakan sakit hati sama orang lewat lagu, sedih juga dilampiasin di lagu. Di antara banyak lagu cinta, ada beberapa yang hal yang membekas di otakku, salah satunya adalah lirik lagu. Well, jika kalian penyuka lagu era 90’an, pasti kenal Savage Garden dengan “I Knew I Love You” nya. Lirik lagu itu, sekilas, kedengerannya mustahil. Gimana mungkin seseorang bisa cinta sama seseorang sebelum mereka bertemu, dan begitu ketemu… BOOM, “Iya, kamu yang selama ini aku cari, dan aku yakin aku nggak salah!!”
            Mirip juga dengan Anthem Lights di lagunya yang berjudul “Hide Your Love Away” yang menurutku liriknya cocok banget buat Akhi-Akhi dan Ukhti-Ukhti anak masjid, yang jalannya nunduk, bajunya syar’I, dan rajin ikut kajian. Why? Karena ldalam lagu ini, si vocalis berkata, “Aku gak tau namamu, aku gak tau wajahmu gimana, tapi kamu sudah bertahta di hatiku, tunggu sampe aku dateng ya..!” haha..kurang lebih gitu lah.
            Di era setelahnya, tepatnya tahun 2009, ada lagu kece lagi yang dinyanyiin sama Mas Jason Mraz, barengan sama Colbie Calliat (semoga gak salah tulis!). Lagu itu menggambarkan dua orang yang sedang jatuh cinta, dimana sebelumnya mereka saling “berkirim telepati” atau apalah…
           
“Do you hear me,
I'm talking to you
Across the water across the deep blue ocean
Under the open sky, oh my, baby I'm trying
Boy I hear you in my dreams
I feel your whisper across the sea
I keep you with me in my heart
You make it easier when life gets hard…”

            Sampe akhirnya mereka ketemu, sahabatan, trus jatuh cinta, dan seterusnya. That’s why di lagu ini, berkali-kali mereka berkata, “Lucky I’m in love with my best friend…” trus mereka bahagia gitu, feels like home…
            Aku jadi mikir, kayaknya lagu ini cocok banget jadi sekuel lanjutan dari lagunya Savage garden dan Anthem Lights, dimana dua orang dalam lagu Lucky ini..yah, begitulah..see? saling memimpikan untuk kemudian bertemu dan boom…oke, aku jatuh cinta, dan kamu orang yang tepat, I know it!!!
            Pikiran ini membawaku ke pikiran lain. Sebenernya seperti apa rasanya bertemu dengan orang yang tepat? Apa bener, dalam sekali pandangan kita langsung tau kalo dia tepat? Gimana kalo ternyata salah, dan kita bertemu dengan orang lain, apa sama yang kita rasain seperti sebelumnya? Seperti apa TEPATNYA?
            Savage garden dan Jason Mraz sama-sama mengungkapkan dalam lagunya, bahwa ketika kita bertemu dengan orang yang tepat, it feels like home, like …Oh My God, finally I find the right way! Lalu aku coba mengingat-ngingat, jika memang bertemu pasangan yang tepat rasanya seperti pulang ke rumah, apakah aku pernah mengalaminya? siapa tahu aku melewatkan seseorag tersebut, hehehee…
            Well, mari kita naik mesin waktu untuk mengingat masa lalu. Kita coret saja beberapa cowok yang pernah membuat hatiku kebat-kebit karena ganteng lah, cool lah, berwibawa, pinter, dan lain sebagainya. Aku percaya, seringnya, wajah dan penampilan bukanlah hal yang dapat membuat jatuh cinta, tapi hanya kagum semata. Well, cewek-cewek normal..sapa pula yang gak silau ngeliat Zayn Malik, Reza Rahadian, atau Choi Si Won? Iya sih, selera orang berbeda, definisi ganteng dan keren tiap orang beda, intinya kegantengan dan kekerenan pasti mengundang kekaguman.
            Dulu di SMA, aku pernah berpacaran dengan seseorang yang aku tau pasti awalnya aku suka dia karena wajahnya. Aku gak perlu jelasin dia orangnya seperti apa, tapi yang jelas, setelah wajah, aku gak mau lagi melihat banyak sisi lainnya. Aku memukul rata segalanya, mematikan logika, dan berusaha meyakinkan hatiku bahwa dialah yang pertama dan pasti akan jadi yang terakhir, apapun yang terjadi, seperti apapun dia. Ada banyak hal dari dia yang kalo sekarang dipikir-pikir lagi, ternyata nggak aku banget. Hey, jangan salahkan aku, aku adalah salah satu contoh alasan kenapa muncul istilah cinta itu buta!! Cinta? Apa dulu aku cinta dia? Mungkin, mungkin juga tidak. Lebih tepat dikatakan bahwa aku mengira aku cinta dia, and case closed.
            Seperti layaknya manusia lain, aku berjalan maju, move on…setelah tau bahwa hubungan kami tidak berhasil, dia pergi dengan wanita lain (atau lebih tepatnya sapi gendut gak punya otak?! Ups…), dan aku tenggelam dengan berbagai kesibukan. Segalanya baik-baik saja, aku sembuh dari patah hatiku begitu cepat, dan yakin bahwa akan hadir dia yang “tepat”. And then, aku bertemu pria ini, agak panjang kalau diceritakan bagaimana kami bisa kenal, lalu bersahabat, lalu dekat bagaikan saudara. Dia bukan orang asing sebenarnya, aku mengetahu pria ini karena kami pernah dua kali bersekolah di sekolah yang sama. Tapi justru bukan di lingkungan sekolah kami saling kenal, melainkan lewat medsos. Yang tidak terduga dari pria ini adalah sepotong kisah masa lalu yang ia percayakan untuk di bagi denganku, yaitu tentang kisah cinta tragisnya pada seorang wanita yang sama selama hampir 7 tahun. Dari banyak sesi curhat yang kami lakukan, dari berbagai kisahnya yang sangat panjang, yang aku rasakan cuman 3, cewek yang ia cintai itu kampret dan kejem, pria itu bego akut, dan yang terakhir…hatiku trenyuh. Iya, tiap kali dia bercerita, hatiku berdenyut oleh kemarahan dan sakit hati, dan dari kemarahan serta sakit hati yang tertumpuk itu, tumbuhlah sindrom Superman Complex dalam hatiku. What’s that? Perasaan kasihan, bercampur ingin menolong, ingin menyembuhkan, ingin membuat kesedihannya hilang, begitulah….hingga akhirnya kupikir lagi-lagi aku jatuh cinta.
            Resmilah saat itu aku menyandang cinta bertepuk sebelah tangan. Aku gak pernah membahasnya, apalagi mengungkapkan, well…bersahabat saja saat itu sudah terasa cukup buatku. Sekalipun untuk ukuran sahabat, aku terlalu menuruti maunya, dan terlalu larut bersedih untuk kesedihannya. Kami bertengkar puluhan kali, berbaikan pula puluhan kali, hingga akhirnya dia mengaku punya perasaan yang sama, lantas kami pun menyatukan diri dalam suatu hubungan. Saat itu, segalanya terasa pas, karena dulu kami sahabat, kami saling tau dan mengerti kepribadian masing-masing, pastilah hubungan ini akan berhasil, begitu pikirku dulu. Setiap kali aku ketemu, melihat sosoknya, mendengar perkataannya, aku merasa seperti melihat matahari senja dari pinggir pantai. Indah, menyilaukan, membuat segalanya terasa kecil kecuali dirinya, membuat segalanya terasa buruk kecuali dia. Aku merasa salah jika dia bilang aku salah, aku merasa jelek jika dia bilang aku jelek, seperti kata Demi Lovato, aku gak pernah merasa cukup bagus dan cukup cantik untuknya. Dia selalu bisa membuat hatiku jumpalitan dengan tiba-tiba hadir setelah lama menghilang, dia membuat aku yakin sekaligus ragu…entahlah, bahkan sampai saat ini dia tetap tidak terdefinisi.
            Lama-lama, hubungan ini mulai timpang…aku yang terlihat keterlaluan dalam segala hal, terlalu mengkhawatirkannya, terlalu posesif, terlalu sayang, dan lain sebagainya sementara dia seperti gunung es di permukaan laut yang hanya terlihat ujung kecilnya, tanpa aku tahu seberapa besar sebetulnya yang dia rasakan. Dia terlalu misterius, dan memicu aku berubah menjadi seorang cewek insecure yang tidak yakin dia dicintai atau tidak. Hingga akhirnya, hubungan kami berakhir..
            Tidak lama jaraknya, aku kembali dekat dengan seorang pria. Tidak tepat juga kalo dikatakan “kembali dekat”, karena seingatku…kami sudah lama dekat. Pria ini kebetulan ada di kelas yang sama ketika aku kuliah magister, dan karena jumlah mahasiswa dalam satu kelas yang tidak begitu banyak, menjadi dekat sebagai teman tidaklah sulit. Sebagai orang yang introvert, aku sebetulnya tidak mudah beramah-tamah, basa-basi, atau mengakrabkan diri dengan seseorang. Seperti mobil mogok, aku harus didorong dulu supaya hidup. Dengan kata lain, orang lainlah yang harus memulai.
            Dan seperti pepatah Jawa “Witing Tresno jalaran Soko Kulino”, jika ditanya kapan aku mulai menyukai orang ini, kapan aku mulai nyaman di dekatnya, aku tidak tahu pasti. Semua terjadi begitu saja, sudah terbiasa ada dia, dan jadinya aneh kalau dibikin tidak ada dia. Saat ia menawarkan komitmen untuk serius pun, aku belum tahu apakah keputusan menerimanya adalah benar atau salah. Saat itu aku berpikir, aku baru saja keluar dari hubungan yang gagal, kenapa aku mau memasuki hubungan yang baru? Apakah ini tidak terlalu cepat? Apakah ini bukan pelarian? Kalau ini hanya pelarian dari sakit hatiku, bagaimana kalau aku berakhir menyakiti hatinya? Jika ini bukan pelarian bagaimana kalau gagal lagi? Tapi jika aku menolak, bagaimana kalau sebetulnya aku telah melewatkan orang yang tepat?
            Well, dan keputusanku adalah menerimanya. Bukan karena pelarian, aku tau aku gak se desperate itu, tapi dengan banyak pertimbangan. Apakah itu? Hmm…aku ceritakan saja sedikit tentang pria ini. Dulu, dulu sekali, di jaman-jaman masih sibuk kuliah, pria ini memang tidak lebih dari sekedar teman dekat. Ada banyak hal yang aku kagumi darinya, ada juga sedikit hal darinya yang tidak sesuai denganku. Dia pintar, salah satu yang paling pintar di kelas kami, dan aku amat sangat mengapresiasi keberaniannya mengambil jurusan pendidikan, yang actually berbeda dengan jurusannya ketika S1. Aku salut dengan alasan yang dulu dia bilang ketika perkenalan, “Saya ambil S2 di pendidikan, biar tau gimana caranya ngajar mahasiswa dengan benar!” begitu. Dia berwawasan luas, sudah kubilang tadi kan kalau dia pintar, dan itu membuatnya luwes dalam berkomunikasi. Dia bisa masuk ke dalam percakapan yang dilakukan oleh siapa saja, dengan topik apa saja, sekalipun terkadang dia suka seperti rem blong kalau berbicara, suka lupa disensor. Tapi kita kan manusia, jelas ada kekurangannya lah…betul? Mumpung lagi ngomongin kekurangan, aku dulu juga benci ketika dia menyia-nyiakan kemampuannya. Dia tau dia bisa, tapi dia memilih untuk minta tolong orang lain menyelesaikan apa yang dia pikir tidak bisa. Tapi yah..sekali lagi, he’s a human, aku cuman harus mengingatkannya kan?
            Well..ada banyak hal yang sudah dia ceritakan padaku dulu, tentang keluarganya, mantannya, gebetan, kerjaan, kuliahnya di Surabaya dulu, tapi tentu tidak sebanyak sekarang. Ketika aku masih dalam tahap galau akibat putus cinta, aku melihat pria ini sebagai sosok yang berbeda. Mungkin karena semakin banyak yang dia ceritakan padaku, mungkin juga karena semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama daripada sebelumnya. Kami sangat kompak, selera humor kami nyambung, dan kami punya banyak kesamaan. Hingga saat ini pun, ketika pria ini menjadi “Lelakiku”, aku tau kami berada pada tempat yang sejajar. Aku tidak bisa mengatainya posesif, karena akupun posesif, aku tidak bisa mengeluh karena dia childish, karena aku punya sisi childish yang sama, terkadang dia menyebalkan, aku yakin aku juga menyebalkan, aku orangnya romantis, dia pun romantis dengan caranya sendiri. dan aku tau..kami punya semangat yang sama, perasaan yang persis sama, dan dalam banyak kasus…isi otak yang sama.
            Apa yang aku rasakan setiap ada di dekatnya? Apakah deg-degan, nervous, kikuk, atau salting? Tidak!! Sama sekali tidak seperti itu (well, pernah dia bikin deg-degan, tapi gak akan kujelaskan disini karena itu rahasiaku, hahaha). Kalo boleh dibilang, keadaannya tidak jauh berubah seperti saat kami bersahabat dulu, tapi gak bisa dibilang juga kalo aku gak ngerasain apa-apa. Aduh mak…aku bingung. Mari kita ibaratkan saja lah ya, gimana perasaan kita ketika laper dan tukang bakso lewat? Gimana perasaan kita saat mimpi buruk di malam hari dan menyadari ternyata hari sudah pagi, dan itu hanya mimpi? gimana perasaan kita saat gelisah menunggu hasil test masuk universitas, dan ternyata nama kita ada di daftar mahasiswa baru? Yang aku rasakan mungkin tidak tepat seperti itu, tapi semacam lah.. even better, like we get what we need, not what we want. Seperti mahasiswa yang pulang kampung, seperti lelah kemudian pulang ke rumah yang nyaman, lega, aman, hangat, feels like home…seperti inikah yang dimaksud oleh Savage garden atau Jason Mraz dalam lagunya?
            Pria ini hanya apes karena telah mencintai seorang wanita dengan banyak trauma di masa lalunya. Ya, bukan dia yang tidak bisa dipercaya, bahwa dia akan serius, benar-benar tulus, dan benar-benar memperjuangkan segalanya. Bukan dia kurang ini dan itu…trust me, he treats me right, like every women ever dream for. Hanya aku saja yang masih berkubang dengan kalimat, “gimana kalo ini gagal lagi?” pesimis? Ragu? Gak juga sebenernya, aku juga berusaha, aku juga menjaga komitmen kami, tapi dalam track record-ku bukankah selalu pihak pria yang mengakhiri segalanya? Bagaimana kalau dia juga begitu? Sebabnya bisa banyak hal kan?
            He makes me feel like home, he makes me feel right…tapi aku belum tahu apakah perasaan ini yang dimaksudkan oleh Savage Garden dan Jason Mraz. Aku terlalu takut untuk bilang, “kamu orang yang tepat, aku yakin itu 100%!” I love him, but I’m too scared to call him “my future” even though I want to be his future. Mungkin, seperti menulis dalam blog ini, aku butuh timing yang tepat untuk bilang ke dia, “aku sudah memilih orang yang tepat, aku yakin itu!”. Kapan? Mungkin saat kami duduk bersama, setelah akad… ^^, dan sementara itu, akan kubiarkan dia menunjukkan buktinya, bukti bahwa dia memang tepat..atau tidak tepat.